Sponsored
  • Home
  • About
  • Contact
  • Disclaimer
  • Redaksi
  • Pedoman Cyber
Youtube
Facebook
Instagram
Telegram
Gaza MediaNewsPaperthe art of publishing
Gaza MediaGaza Media
0
19

“Kalau kalian menjual satu saja mobil dinas pejabat seharga seratus ribu dolar… gaji kami semua bisa terbayar.”

Kalimat tajam itu meluncur dari seorang guru di Idlib saat ia berdiri dalam sebuah pertemuan dengan Dinas Pendidikan setempat. Aksinya, yang terekam kamera, segera tersebar luas di media sosial Suriah, menjadi simbol protes para guru atas rendahnya upah.

Bagi warga Suriah, keluhan itu tidak memerlukan penjelasan panjang. Harga satu barel minyak pemanas kini mencapai sekitar 110 dolar AS, dan satu liter bensin menembus 50 dolar AS. Sementara itu, gaji bulanan guru hanya berkisar 120–150 dolar AS.

Namun adegan tersebut bukan sekadar keluhan tentang tingginya biaya hidup. Momen itu mencerminkan pergeseran simbolik di negara yang baru mulai memasuki kehidupan publik pasca-runtuhnya rezim Bashar al-Assad—tahun ketika warga Suriah belajar berbicara, berkumpul, dan mengkritik dengan keterbukaan yang sebelumnya mustahil dibayangkan.

Di bawah Assad, protes publik kerap dibalas dengan kekerasan mematikan, sebagaimana terlihat dalam penumpasan brutal atas demonstrasi tahun 2011 yang memicu perang sipil. Mengkritik pemerintah bisa berujung penjara atau lebih buruk lagi; aparat keamanan mengawasi ketat setiap bentuk kerumunan, dan pertemuan damai dapat berakhir dengan penangkapan massal.

Kontras itu kembali tampak pada 25 November 2025, ketika Tartous dan Latakia di Suriah barat menyaksikan unjuk rasa dan aksi duduk warga komunitas Alawite yang menuntut “desentralisasi” dan pembebasan para tahanan.

Dalam pemandangan yang dulu mustahil terjadi, pasukan keamanan dalam negeri mengelilingi aksi tersebut—bukan untuk membubarkan, tetapi melindungi para demonstran, menurut laporan sejumlah media Suriah.

Untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, banyak warga Suriah mengaku akhirnya bisa “menghirup kebebasan” setelah bertahun-tahun dibungkam.

Seni dan budaya kembali bergeliat

Gelombang kebebasan turut menyentuh ranah seni dan budaya, menghadirkan kembali suara-suara yang lama dipaksa bungkam.

Abir Nahhas, novelis Suriah yang kini memimpin cabang Homs dari Persatuan Penulis Arab, mengatakan kepada Anadolu bahwa sastra selalu menjadi cermin identitas bangsa.

Ia menegaskan, para penulis kini dapat berbicara terbuka tentang keadilan, amnesti, dan akuntabilitas. Menurut dia, sastra harus mampu memberikan “pengamatan jujur” atas apa yang terjadi selama pergolakan Suriah—menelusuri akar konflik dan menggambarkan masyarakat yang sedang bangkit melalui karakter-karakter yang seimbang.

Nahhas menyebut lingkaran budaya Suriah kini “penuh dengan kegiatan”, sebuah kebangkitan yang ia anggap sebagai kesempatan untuk “menata kembali rumah budaya Suriah”.

Ia masih mengingat undangan ke sebuah festival budaya di perpustakaan nasional Damaskus—yang sebelumnya bernama Perpustakaan al-Assad—sebagai pengalaman yang terasa aneh sekaligus menggembirakan, mengingat tempat itu dulu tertutup bagi banyak pekerja seni di bawah rezim Baath.

Seniman rupa Rama al-Dakkak merasakan hal serupa.

Setelah bertahun-tahun melukis figur-figur pucat dan penuh ketakutan, Dakkak mengaku belakangan lebih sering menggambarkan senyum—sebuah isyarat harapan rapuh yang tumbuh di tengah keputusasaan selepas tumbangnya rezim.

Ia mengatakan mengikuti intuisi artistik, membiarkan semua suara batinnya muncul. Menggambarkan kehilangan dan pengasingan membutuhkan waktu bertahun-tahun, namun melukiskan masa depan pun tak kalah berat, meyakini bahwa seni memiliki peran membentuk identitas melalui kemampuannya memantik dialog.

Media sosial: dari ruang pengawasan menjadi ruang dialog

Di masa Assad, media sosial ibarat ladang ranjau. Unggahan yang mengkritik pemerintah bisa mengundang interogasi, intimidasi, atau penahanan. Ruang daring diawasi ketat dan kerap dipakai sebagai alat propaganda.

Kini, warga Suriah menggunakannya secara terbuka—sering dengan humor dan kejujuran blak-blakan—dan mendapatkan tanggapan yang mencerminkan perubahan iklim politik.

Menteri Komunikasi Abdul Salam Heikal menjadi bahan gurauan viral ketika seseorang mengunggah fotonya dengan komentar: “Kepalamu yang botak itu mirip kopiah rabi… transplantasi rambut sana, nanti kita dibilang punya menteri Zionis.”

Heikal menanggapi ringan: “Jangan berpikiran buruk, saudaraku… Ini antena parabola penerima internet satelit.”

Hal serupa terjadi pada Menteri Ekonomi dan Industri, Mohammed Nidal al-Shaar, yang disindir sebagai “gagal” oleh seorang pengguna Facebook. Ia membalas dengan nada rendah hati: “Bantu saya agar bisa berhasil.”

Lanskap drama dan media berubah total

Runtuhnya rezim juga mengakhiri puluhan tahun represi terhadap pers dan industri drama. Media independen dan oposisi kembali beroperasi dari dalam Suriah.

Enab Baladi, media nirlaba yang berdiri pada 2011, membuka kantor di Damaskus pada Januari 2025—yang pertama di wilayah tersebut.

Sementara itu, stasiun swasta Syria TV mulai menyiarkan buletin berita pertamanya dari pusat Damaskus pada November lalu, setelah bertahun-tahun beroperasi dari pengasingan.

Menurut Menteri Informasi Hamza Mustafa, Suriah berhasil menarik lebih dari 25 produksi serial televisi—angka yang melampaui capaian tahun 2010.

“Tujuan kami menjadikan Suriah sebagai pusat industri media,” ujar Mustafa kepada Anadolu.

Ia menambahkan, fokus kini bergeser “dari level nasional ke level lokal”, sebab setiap provinsi memiliki identitas masing-masing yang perlu tercermin dalam produksi media.

Masih menurut Mustafa, lebih dari 500 media kini beroperasi di Suriah, dan kementerian telah menerima ribuan permohonan kartu pers.

Organisasi masyarakat sipil dan kelompok hak asasi pun kembali ke ruang publik.

Jaringan Hak Asasi Manusia Suriah (SNHR), yang didirikan secara sembunyi-sembunyi pada 2011 untuk mendokumentasikan pelanggaran, mengumumkan pada Juni 2025 bahwa mereka mulai beroperasi resmi dari Damaskus setelah memperoleh izin hukum dan membuka kantor pertama sejak kejatuhan rezim.

Share
Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram
    Previous article
    Masya Allah, warga Gaza kirim doa untuk korban bencana di Sumatera
    Next article
    Keluarga: Marwan Barghouti disiksa secara brutal di penjara Israel
    Pizaro Idrus
    Pizaro Idrus
    Kandidat PhD bidang Hubungan Internasional Universitas Sains Malaysia. Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue
    ARTIKEL TERKAIT
    Analisis dan Opini

    ANALISA – Kematian Abu Syabab tunjukkan Israel tak bisa kontrol Gaza

    06/12/2025
    Berita

    Irlandia sampai Spanyol boikot Eurovision karena partisipasi Israel

    06/12/2025
    Berita

    Analis: Gofman pimpin Mossad karena loyalitas bukan kompetensi

    06/12/2025
    - Advertisment -spot_img

    Terpopuler

    ANALISA – Kematian Abu Syabab tunjukkan Israel tak bisa kontrol Gaza

    06/12/2025

    Irlandia sampai Spanyol boikot Eurovision karena partisipasi Israel

    06/12/2025

    Analis: Gofman pimpin Mossad karena loyalitas bukan kompetensi

    06/12/2025

    Warning – nyawa Barghouti di ujung tanduk

    06/12/2025
    Load more
    Advertisement