Pasokan Air Baku Terancam Dihentikan, Menhut SP3 PDAM Tirta Kamuning
JABAR EKSPRES – Kabar mengejutkan kembali menyelimuti Perusahaan Unum Daerah Air Minum Tirta Dharma Ayu (Perumdam TDA) Kabupaten Indramayu.Pasalnya, Perumda...

JABAR EKSPRES – Wacana pembangunan kereta cepat Jakarta-Surabaya kembali mengemuka, namun akademisi transportasi Djoko Setijowarno menilai kebutuhan transportasi di Jawa, termasuk Bandung, masih berada pada persoalan mendasar yang belum tersentuh.
Dia menyebut penyediaan layanan angkutan umum dan reaktivasi jalur rel jauh lebih mendesak dibanding ekspansi proyek kereta cepat.
Djoko menegaskan proyek tersebut sebaiknya dipandang sebagai keinginan, bukan kebutuhan mendesak. Menurutnya, Jawa memang memiliki jaringan tol yang berkembang pesat, tetapi belum diiringi kualitas transportasi publik yang memadai.
Baca Juga:Gandeng Muhammadiyah, BSI Percepat Penyaluran Bantuan untuk Korban Bencana di AcehSabet 5 Penghargaan BI, Bank Mandiri Tegaskan Peran Strategis dalam Stabilitas Ekonomi Nasional
“Yang lebih mendesak adalah peningkatan angkutan perkotaan dan perdesaan serta reaktivasi jalur rel,” ujarnya secara tertulis diterima Jabar Ekspres, Sabtu (6/12).
Dia menyebut Bandung sebagai salah satu contoh kota besar di Jawa yang mengalami ketidakseimbangan itu. Bandung telah tumbuh menjadi kawasan urban dengan mobilitas tinggi, namun layanan transportasi publik modern di kota itu masih terbatas, termasuk belum berfungsinya commuter line Bandung Raya secara optimal.
Menurut Djoko, kondisi tersebut menunjukkan bahwa persoalan dasar belum terselesaikan, tetapi wacana pembangunan kereta cepat terus melaju. “Kita harus melihat kebutuhan nyata masyarakat, bukan hanya proyek besar,” katanya.
Djoko kembali menyinggung pengalaman Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Proyek tersebut, menurutnya, sejak awal bukan berangkat dari kebutuhan masyarakat. “Ini adalah keinginan Presiden Joko Widodo, bukan kebutuhan masyarakat,” ujarnya.
Dia menilai konsekuensinya kini terasa, termasuk beban finansial berupa cicilan utang yang harus ditanggung PT KAI pada 2025.
Dia juga membandingkan biaya KCJB dengan standar global. Berdasarkan studi Bank Dunia, biaya konstruksi HSR Tiongkok berada pada kisaran USD17-21 juta per kilometer, sedangkan KCJB mencapai USD33 juta per kilometer. “Kita harus realistis melihat angka-angka ini,” katanya.
Dia menyebut perbedaan itu berasal dari tingginya biaya persiapan proyek pertama dan fasilitas tambahan yang di negara lain umumnya dibiayai pemerintah.
Baca Juga:Sukses Menggelar Dikreg LIV Sesko TNI TA 2025, Begini kata Panglima Sinergi Baru Mayapada Hospital Bandung dan BRI Life: Fokus pada Nasabah dan Produktivitas Tim
Menurut Djoko, perhatian terhadap jalur rel nonaktif di Jawa yang mencapai 1.610 kilometer semestinya didahulukan, termasuk yang berada di wilayah Bandung Raya.
Menurutnya reaktivasi jalur rel akan menghidupkan kembali konektivitas yang sebelumnya pernah berfungsi. Begitu pula angkutan pedesaan di Jawa yang kini tersisa kurang dari lima persen, membuat akses transportasi masyarakat bergantung pada kendaraan pribadi.
JABAR EKSPRES – Kabar mengejutkan kembali menyelimuti Perusahaan Unum Daerah Air Minum Tirta Dharma Ayu (Perumdam TDA) Kabupaten Indramayu.Pasalnya, Perumda...
JABAR EKSPRES – Ada sejumlah makanan dan minuman yang bagus sebagai sumber vitamin D demi mencegah defisiensi vitamin tersebut dalam...
JABAR EKSPRES – Tim dosen Universitas Bhakti Kencana (UBK) melaksanakan program Pengabdian kepada Masyarakat (Pengmas) yang berfokus pada pemberdayaan kader...
JABAR EKSPRES – Anda yang masih tertarik membeli mobil MPV yang dikenal bermesin bandel dan bertenaga, Isuzu Panther, bisa cek...
JABAR EKSPRES – PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) bersinergi dengan BSI Maslahat bergerak cepat merespons bencana hidrometeorologi yang melanda...